Cape Canaveral – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus mengembangkan ekosistem satelit nasional. Langkah ini guna menjalankan percepatan inklusi digital dan mendukung kemandirian teknologi antariksa.
Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN, Wahyudi Hasbi, mengatakan pihaknya berperan sentral dalam membangun ekosistem satelit nasional dengan PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) dan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom).
BRIN mendukung melalui riset seperti pengembangan antena phased-array untuk stasiun Bumi, penelitian komunikasi satelit, dan studi mitigasi interferensi seperti Satelit Nusantara Lima (SNL).
“Kami menyiapkan SDM (sumber daya manusia), infrastruktur, dan kegiatan riset sesuai kebutuhan industri. BRIN terbuka untuk kolaborasi, termasuk penggunaan fasilitas uji dan integrasi satelit yang kami miliki,” katanya.
Pernyataan ini disampaikannya saat bertemu di acara peluncuran Satelit Nusantara Lima di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS).
Kolaborasi BRIN dengan Pasifik Satelit Nusantara mencakup pengembangan Satelit Konstelasi Nusantara, sebuah program satelit nasional multimisi untuk observasi bumi, pengawasan maritim, dan komunikasi.
BRIN sedang merancang konstelasi satelit LAPAN-A1, A2, dan A3 (LEO) baru untuk mendukung pembangunan nasional dan industri dalam negeri. Langkah ini dilakukan denga pengalaman mengoperasikan tiga satelit LEO.
“Harapannya, Indonesia bisa memiliki industri manufaktur satelit sendiri dalam waktu dekat,” ucapnya.
Wahyudi Hasbi menyadari pembangunan ekosistem satelit nasional menghadapi tantangan seperti awareness investasi di sektor antariksa minim dari pemerintah dan swasta.
Jadi, BRIN bekerja sama dengan Bappenas dan asosiasi profesi untuk mengkampanyekan potensi space economy yang diprediksi sebesar US$1,8 triliun secara global pada 2035.
“Kami fokus pada hilirisasi riset, pelatihan SDM bersama kampus dan industri, serta penyusunan kebijakan antariksa yang relevan,” ucapnya.
Layanan satelit GEO VHTS seperti SNL dan layanan NGSO global seperti Starlink dapat saling melengkapi dalam menghadapi kehadiran Starlink dengan konstelasi satelit LEO-nya, menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia.
“Pemerintah perlu memastikan kepatuhan regulasi nasional, tetapi kami melihat potensi sinergi untuk memperluas konektivitas dengan memprioritaskan kapasitas nasional,” ucapnya.
SNL berkapasitas 160 lebih Gbps dan teknologi Ka-band spot beam, dirancang untuk menjangkau wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), seperti menyediakan backhaul BTS/USO, akses internet sekolah, dan puskesmas.
Kombinasi dengan satelit lain menjadikan Indonesia salah satu negara dengan kapasitas satelit terbesar di Asia, memperkuat posisi regionalnya
Namun, Indonesia harus mengatasi kesenjangan kapasitas satelit sekitar 1 Tbps di wilayah 3T.
Dengan begitu BRIN mendorong strategi multifaset meliputi pembangunan satelit VHTS baru seperti SNL, pengembangan satelit LEO, optimalisasi spektrum, dan pendekatan hibrid dengan serat optik.
“Kami juga melakukan riset untuk mitigasi interferensi dan pengelolaan spektrum agar operasional satelit lebih efisien,” tuturnya.
BRIN juga berkontribusi pada space situational awareness untuk memastikan keselamatan satelit di orbit. Selain itu mengembangkan sumber daya manusia (SDM) dan ekosistem lokal turut pula digarap.
Hal lainnya adalah membuka peluang co-development dan co-creation meliputi program magang, penggunaan fasilitas riset bersama, dan konsorsium riset dengan perguruan tinggi serta industri.
“Kami ingin membangun SDM unggul dan memperkuat ekosistem satelit nasional melalui kegiatan Assembly-Integration-Test (AIT) di dalam negeri,” kata bapak tiga anak ini.
Dengan begitu BRIN menjawab tantangan persaingan global dan membangun fondasi untuk kemandirian teknologi antariksa Indonesia.
“Satelit seperti SNL dan rencana konstelasi LEO kami adalah langkah menuju ekosistem yang kuat, yang tidak hanya mendukung konektivitas, tetapi juga observasi bumi dan pengawasan maritim,” ucapnya. (adm)
Sumber: detik.com