Jakarta – Cyber Threat Report 2025 Ensign InfoSecurity mengungkapkan gerakan ekonomi siber bawah tanah tumbuh pesat di Indonesia. Kondisi ini menimbulkan faktor kerentanan dalam rantai pasok sistem keamanan siber di berbagai industri di Asia Pasifik.
Khusus untuk Indonesia menyebutkan bagaimana kelompok ‘hacktivist’ berevolusi dari segi skala dan kemampuan dipicu oleh peningkatan kolaborasi antar pelaku di gerakan ekonomi siber bawah tanah.
Selain itu bagaimana para pelaku serangan siber mulai berkomplot bersama kelompok hacktivist dan pelaku kejahatan terorganisir guna meningkatkan kemampuan mereka dalam mendanai kampanye serangan siber yang berbasis ideologi.
“Perubahan bentuk gerakan hacktivisme menandai pergeseran serangan siber yang awalnya murni didorong oleh ideologi, menjadi sebuah kejahatan yang termotivasi oleh keinginan untuk memperoleh imbalan finansial,” kata Head of Consulting, PT Ensign InfoSecurity Indonesia, Adithya Nugraputra di Jakarta pada Rabu (23/7/2025).
Kemunculan gerakan siber bawah tanah semakin memicu persaingan sekaligus kolaborasi antar pelaku, sehingga meningkatkan efektivitas serta tingkat keberhasilan serangan mereka
“Kelompok-kelompok gabungan ini, ditambah dengan meluasnya tingkat kerentanan dalam rantai pasok sistem keamanan siber, menjadikan para pelaku kejahatan siber, seperti hacktivist, menjadi lebih kuat, gigih, dan sulit untuk dilumpuhkan,” ucapnya.
Berdasarkan pengamatan Ensign pada 2024 mengutarakan industri yang paling diincar pelaku serangan siber di Indonesia adalah sektor teknologi, media, dan telekomunikasi (TMT), Kemudian, sektor keuangan, perbankan dan asuransi, serta layanan publik, sektor perhotelan (hospitality).
“Kita melihat ada target baru, yaitu hospitality juga defence & law enforcement. Ini baru yang tidak kita temukan sebelumnya,” ucapnya.
Ensign juga mengungkapkan Denial of Service (DoS) yakni teknik melumpuhkan suatu sistem sebagai sasaran penjahat siber.
“Denial of Service yang paling banyak nggak masuk berita itu 56% dari serangan yang di Indonesia yang kita analisa, di mana attacker ini mematikan operasional sehingga suatu aplikasi atau sistem diretas sampai tidak beroperasi. Kalau bisnisnya ada downtime, ada kerugian karena ada layanan yang terhenti,” tuturnya.
Banyak organisasi di Indonesia mengalami peretasan tanpa sepengetahuan mereka dan pelaku kejahatan siber menjadi semakin canggih seiring dengan percepatan transformasi digital.
Selain itu adopsi artificial intelligence/AI (kecerdasan buatan) yang memperkuat kemampuan mereka.
“Organisasi tidak lagi bisa beranggapan bahwa sistem keamanan mereka sudah memadai. Mereka perlu memeriksa ulang sistem keamanan mereka secara berkala, menambal kerentanan yang ada dalam sistem, dan memastikan sistem keamanan siber mereka tetap relevan dalam menghadapi ancaman siber saat ini,” tutup Adithya.
Laporan Cyber Threat Report 2025 disusun berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Ensign dari seluruh kawasan Asia Pasifik sepanjang tahun 2024, termasuk Indonesia.
Laporan ini memberikan gambaran komprehensif tentang lanskap ancaman siber yang terus berkembang, termasuk temuan tentang bentuk kolaborasi antara para pelaku ancaman siber. (adm)
Sumber: detik.com